Dear Shiro,
Hey, apa kabarmu di sana? Nama yang
masih terlalu miris untuk disebut, bahkan setelah helai demi helai rambutku
mulai memutih, dan keriput mulai membuat ceruk di dekat pelipis. Shiro, ,
begitulah aku menoreh namamu di ribuan lembar buku harianku. Sosok yang pernah
membuatku gila, menginginkanmu hingga ke ubun-ubun.
Pagi ini aku ingin sedikit berbagi
cerita kepadamu. Empat bulan lalu, tak sengaja aku mampir ke Jalan Pramuka.
Jalan lengah dengan bangunan histori SMUNSA yang masih kokoh meraja, paling
tidak cukup memberiku tiket bernostalgia dengan romantika masa SMA yang indah,
saat ku masih lugu menginginkanmu tanpa menimbang logika.
Shiro, kamu ingat koridor depan kelas
kita di X-7? Itu adalah titik kulminasi perjumpaan kita, pertautan mata yang
membuatku mengagumimu bukan lagi sekedar teman kelas. Kamu yang manis, dengan
bola mata liar menyambar macam elang, rambut ikalmu yang menggelitik geli,
tungkai kakimu yang lincah bergerak
mendrible bola basket, kamu yang wangi, kamu dan segala tentangmu yang
menjejali pikiranku.
Lalu langkahku menapak di teras
aula, depan kelas kita. Di sanalah kembali kenangan tentangmu menyeruak.
Fragmen kehidupan yang sulit terberai andai sang rawi lesap sekalipun. Kubaca
lagi secarik catatan yang kamu tinggalkan di halaman belakang buku Bahasa
Indonesiaku, penggalan lirik lagu Caffein, Hidupku
Kan Damaikan Hatimu.
hidupku
kan damaikan hatimu
diriku
kan selalu menjagamu
ijinkan
ku selalu bersamamu
kasihku
padamu
Sempat ku berkhayal,
penggalan liriknya mewakili perasaanmu padaku. Yah, itu terjadi sebelum
kemudian di 12 Januari 2002, kamu tampil bersama Meff Band dan mematahkan
perasaanku dengan lagu Tak Harus Miliki
dari Dr.PM.
Maafkan
aku hasrat tlah pergi
maafkan
atas senyum yang kini tlah pudar
maafkan
maafkan kata yang terucap
jadi
satu arti tersirat di hati
tak
kan mungkin ada
semua
tlah sirnadan tlah sirna
Tahukah kamu, lagu ini sempat menjadi
nada dering ponselku selama belasan tahun?
Begitulah Shiro aku mencintaimu dengan segenap
perasaanku. Kamu dan semua orang tahu benar, betapa aku pernah memperjuangkan
perasaan ini. Hal yang sejatinya masih menjadi misteri, adalah balasan dari
perasaanmu sendiri. Pernahkah aku ada di hatimu, berhasilkah aku menyentuh
rasamu? Jika pun aku pernah berhasil, lalu perasaan itu sebatas apa? Aku tak
kelewat berharap sebesar perasaanku padamu, setidaknya bagimu aku bukan sekedar
teman kelas tanpa catatan kedekatan.
Di hari terakhir kita meninggalkan SMUNSA, sempat aku
menangis berpikir takkan pernah lagi melihatmu, menyentuhmu dan berbincang lama
denganmu. Aku harus pergi merantau ke Malang, berjibaku mengejar kematangan
masa depan. Aku harus berhasil menghebatkan diriku agar nantinya layak
bersanding denganmu yang bagiku lebih dari sekedar sempurna. Aku pikir kamu mau
menungguku, memberiku kesempatan aku menuntaskan yang sudah kumulai. Kelak
bilaku telah sempurna, maka dengan cinta yang sama kamu akan kujemput.
Malangnya, belum juga ku berhasil, kamu terlanjur pergi. Di hari Kamis, 24
Nopember 2005 takdir memutuskan segalanya. Kamu temukan tambatan hatimu,
perempuan elok yang barangkali akan kubenci seumur hidupku.
` Aku
mengalami yang pujangga sebut patah hati. Bukan sembarang patah hati, karena
aku menangisimu sepanjang hari di sepanjang tahunku. Masa-masa sulit yang
membuatku sempat berpikir menjerat leher, tapi sejatinya aku takut mati. Maka
kupilih melanjutkan hidup meski sejatinya sudah tak lagi punya alasan untuk
siapa lagi ku berjuang. Aku merasa kehilangan tanpa tahu apa sejatinya aku pernah memiliki.
Belasan
tahun terlewat, kini kita sama-sama tumbuh dewasa. Kamu dan keluarga kecilmu
hidup damai, dengan karier yang makin meroket di salah satu instansi swasta.
Sementara aku masih terus berusaha bahagia dengan apa yang benar-benar kumiliki
sekarang. Aku memilih mengabdikan hidupku di dunia pendidikan, berpikir
mencerdaskan anak negeri dengan bekal ijazah yang kuperoleh di tanah rantau. Paling
tidak aku berhasil. Satu-satunya kegagalan terbesarku adalah betapa sulit
bagiku untuk mengikhlaskanmu. Di usiaku yang memasuki kepala 3, kuputuskan
belum menikah dulu. Barangkali dosa bila kuberpikir di masa penantian ini kamu
akan kembali. Tapi begitulah aku. Masih sering ku meracau memanggil namamu,
berdiri macam orang dungu di Perempatan Jalan Jokotole hanya untuk bisa melihatmu, hingga pada
suatu ketika Tuhan menyadarkanku.
Berangsur-angsur
kumulai berpikir, tak mungkin selamanya aku mengharapmu, kisah kita sudah
kadung kadaluarsa. Jika kamu bisa bahagia, maka seharusnya aku bisa.
Melalui
surat ini, aku hanya ingin mengabarimu, betapa saat ini aku hampir berhasil
mengikhlaskanmu. Aku mulai menerima kenyataan kita tidak berada di takdir yang
sama, dan bahwa dia adalah yang terbaik buatmu. Maka sebagai balasannya
berdoalah untuk kebahagiaanku, agar pada akhirnya aku benar-benar bisa
mendapatkan pendamping hidup bukan lagi berharap bodoh padamu.
Shiro,
kamu adalah cinta dan kisah pertamaku. Tidak pernah ada yang bisa mengubah itu.
Tapi setiap perjuangan, pada akhirnya akan menemukan garis finishnya. Dan
inilah saatnya.
Salamku,
Dari Penggalan Kisah SMA mu
Ime
suka banget sama film ini
BalasHapusmarkaindo