Jumat, 26 April 2019

8 BATAS KETERLIBATAN ORANG TUA DALAM PENYELANGGARAAN PENDIDIKAN YANG SERING SEKALI DI LANGGAR



Tahun pelajaran 2018/2019 baru saja dimulai. Ada beberapa fenomena yang cukup mengejutkan salah satunya adalah berkurangnya jumlah siswa yang mendaftar di sekolah umum. Beberapa pihak menilai bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh kebijakan zonasi, meski sedianya jika mekanisme zonasi benar-benar diterapkan maka tidak perlu ada sekolah yang mengeluhkan tentang jumlah pendaftar yang berkurang. Selain faktor zonasi, skeptisisme orang tua terhadap sekolah umum dituding sebagai alasan yang paling masuk akal mengapa mendadak jumlah pendaftar di sekolah umum berkurang. Merosotnya moral siswa dan beberapa kasus pelanggaran di lingkungan sekolah umum, semakin mengikis kepercayaan orang tua untuk menitipkan buah hati mereka. Maka adalah wajar jika kemudian pondok pesantren menjadi pilihan paling ideal dan populer di era yang semakin edan.
            Terlepas dari asas demokrasi yang memungkinkan seorang anak untuk membuat pilihan lembaga pendidikan yang diinginkan, orang tua tetap memegang peranan penting dalam menentukan keputusan akhir. Pada hakikatnya ini menyangkut kalkulasi biaya pendidikan yang harus digelontorkan oleh orang tua. Namun di era digital yang memungkinkan orang tua mengakses informasi lebih detail, banyak pertimbangan lain yang membuat orang tua jaman kekinian menjadi lebih selektif, lebih cermat, bahkan tak jarang mereka menjadi seperti vigilant’s customer yang menetapkan kriteria kelewat muluk untuk lembaga pendidikan buah hatinya.
            Sekolah memang bagian dari layanan publik. Sudah menjadi kewajiban sekolah untuk memenuhi tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa, mempersiapkan anak untuk terjun ke masyarakat dengan kuatitas dan kualitas kognitif, afektif, psikomotorik yang seimbang dan memadai. Guru adalah mitra orang tua, bahkan dulunya disebut sebagai orang tua pengganti selama berada di lingkungan sekolah. Bukan berarti guru atau penyelenggara pendidikan lainnya menjadi satu-satunya kambing hitam yang wajib dipersalahkan jika seorang anak gagal. Akan menjadi sangat ironis, ketika seorang anak dianggap berhasil maka peran guru seolah tak terbaca dalam sejarah.
            Sebagai mitra pendidik yang bijak, keterlibatan orang tua dalam dunia pendidikan memang sangat diharapkan, namun dalam koridor yang punya batasan. Orang tua bebas bersuara, memperlakukan diri mereka sebagai konsumen yang wajib diperhatikan kepentingannya, tapi bukan berarti mereka bebas berkoar mencari celah cacat dari pihak penyelenggara pendidikan. Orang tua adalah bagian stakeholder yang berhak menentukan arah kebijakan sekolah, tapi kata berhak bukan berarti semena-mena. Sebagai layanan publik, sekolah tidak hanya melayani kepentingan satu atau beberapa siswa, tapi ratusan. Jika setiap orang tua bertindak sebagai vigilant’s customer, maka pihak penyelenggara pendidikan akan kehilangan ruang otoritas. Lalu muncul semacam sentilan: Bikin aja sekolah sendiri, bapaknya yang jadi kepala sekolah, ibunya yang jadi guru.
            Untuk membangun hubungan harmonis dengan pihak penyelenggara pendidikan, orang tua harus punya dan mengerti batasan dimana mereka berhak bergerak. Melanggar terlampau jauh batasan tersebut, justru akan berdampak buruk pada psikologi anak. Anggapan bahwa: masih banyak sekolah yang mau menampung anak saya, sedianya tidak menjadikan orang tua gegabah untuk memindahkan anak dari sekolah lamanya hanya karena sebuah alasan kecil. Yang perlu diperhatikan orang tua adalah, proses pindah sekolah membutuhkan adaptasi yang cukup lama, yang belum tentu bisa dilewati seorang anak dengan mudah.
            Apakah artikel ini menjadi semacam kritikan yang melarang orang tua untuk terlibat dalam proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah? Tidak. Artikel dengan pengantar cukup panjang ini hanya bertujuan untuk memotivasi orang tua untuk mengerti batasan koridor keterlibatan mereka dalam dunia pendidikan. Lalu, apa saja batasan tersebut?
            Pertama, Orang Tua berhak membuat keputusan tentang lembaga pendidikan yang akan dipilih anak, tapi diskusikan dulu dengan subjek. Ingat, yang dimaksud dengan subjek pendidikan bukanlah orang tua, tapi anak. Yang akan mengenyam pendidikan hingga lulus nanti adalah anak, bukan orang tua. Anak dalam rentang usia apapun berhak untuk ditanyakan apa maunya. Jangan paksakan seorang anak dengan keterbatasan fisik dan mental untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, hanya karena orang tuanya malu untuk menyekolahkannya di sekolah luar biasa. Jangan paksa pula seorang anak untuk masuk IPA, jika dia lemah dalam ilmu non verbal dan justru luar biasa dalam ilmu sosial. Keterlibatan orang tua hanya dalam memberi masukan, pertimbangan, bukan paksaan. Seorang anak harus menempuh pendidikan dalam perasaan suka cita, benar-benar menikmati dunianya. Jangan memaksanya hidup di dunia yang mengasingkannya.
            Apakah semua orang yang dikatakan “berhasil” adalah mereka dengan ijazah sekolah umum? Apakah masa depan yang cemerlang hanya bagi mereka yang SMA nya masuk di jurusan IPA? Jawabannya: tidak juga. Dunia bukan hanya butuh mereka yang lulus dari sekolah umum. Dunia bukan hanya dikendalikan oleh mereka yang jago eksak. Dunia butuh semua orang yang mau berusaha untuk memperbaiki kehidupan.
            Kedua, Orang Tua boleh mengantar anak sekolah, tapi bukan berarti boleh menemani mereka belajar. Di hari pertama sekolah, memang sudah seharusnya orang tua menyempatkan diri mengantar anak ke sekolah barunya, mempersiapkan mental mereka yang dipastikan belum sepenuhnya bisa beradaptasi, terutama bagi mereka yang masih PAUD, TK ataupun SD. Dan masih terlihat wajar, jika hal tersebut berlangsung hingga 2-3 hari atau bahkan seminggu. Tapi akan menjadi tidak wajar, jika melampaui rentang waktu tersebut. Orang tua harus bersikap pasrah, merelakan buah hatinya berjalan dengan gagah melewati gerbang sekolah tanpa kawalan orang tua. Biarkan anak tumbuh sebagai sosok mandiri yang harus segera menemukan dan beradaptasi dengan teman bermain yang baru. Pihak sekolah pun harus dengan tegas, melarang orang tua untuk muncul pada kegiatan PBM kecuali pada moment-moment tertentu. Untuk memantau kegiatan anak selama di sekolah, beberapa pihak penyelenggara pendidikan membuat laporan harian secara digital, baik dengan share foto, video melalui layanan grup whatsapp.
            Ketiga, Orang tua wajib bertanya atau memeriksa PR, membantu hanya jika anak butuh dibantu. Sudah menjadi semacam rutinitas umum bagi seorang ibu untuk bertanya atau memeriksa PR anak sepulang sekolah, dan akan menjadi lebih elok jika seorang ibu mampu membiasakan anak mengerjakan PR sepulang sekolah. Tapi apa seorang anak wajib dibantu dalam mengerjakan PR? Jawabannya: tidak wajib. Pada umumnya seorang guru memberikan PR hanya untuk memotivasi anak membuka buku kembali, jadi secara otomatis materi PR adalah materi yang sudah dipelajari anak di sekolah. Maka biarkan saja anak mengerjakan PR mereka, dan hadirlah pada proses final sebagai korektor, bukan joki. Jangan membiasakan seorang anak menjadi manja, merasa berhak menuntut orang tua untuk membantu mereka dalam mengerjakan PR.
            Keempat, Pinjami anak ganget, jangan memberikannya! Akad meminjam tentulah berbeda dengan memiliki. Mereka yang meminjam akan dibatasi kewajiban untuk mengembalikan dengan segera. Sebagai orang tua kita harus tegas, membebaskan diri dari cercaan di luar yang mengangap kita pelit karena tidak mau menfasilitasi anak dengan ganget. Zaman boleh canggih, era boleh digital, tapi bukan berarti setiap anak Indonesia wajib memiliki ganget, lebih-lebih membawanya ke sekolah. Ada aplikasi tertentu ganget yang memang wajib dikenal seorang anak, seperti situs pencarian google, aplikasi sosmed dengan lawan bicara yang sudah terdaftar dan disepakati orang tua, bahkan harus ada klasifikasi games-games tertentu yang boleh dimainkan seorang anak dalam rentang usianya. Seperti patutkah, seorang anak SD bermain games yang penuh dengan adegan kekerasan seperti Call of Duty, yang memaksanya seolah terlibat dalam misi membunuh diktator Kuba Fidel Castro? Bahkan mereka belum pernah sekalipun membaca sejarah kepemimpinannya. Di sini orang tua berperan sebagai lembaga sensor. Seperti hal nya acara TV, seharusnya ada label BO pada beberapa jenis games di layar ganget.
            Kelima, Lindungi anak, tapi bersikaplah adil pada sesama. Anak terlibat dalam pertengkaran dengan teman sepermainannya sudah biasa. Akan menjadi luar biasa, bila kita tiba-tiba datang dengan amarah berlebih, lalu bertindak sebagai hakim yang hanya memperhitungkan rasa sakit anak. Ingat, anak kita tak selalu jadi korban, bisa saja dia pelakunya. Lagipula itu adalah perang kecil yang akan berakhir dengan sendirinya, bahkan tanpa harus melewati kata maaf atau proses mediasi yang rumit. Jangan karena melihat anak menangis, lalu kita bisa mempercayai penuh kronologis cerita dari versinya. Anak-anak memang polos, bukan berarti mereka tidak bisa berbohong demi melindungi diri bukan? Langkah terbaik saat melihat anak pulang sekolah dalam keadaan menangis, adalah membandingkan kronologis cerita dari versinya dengan penjelasan guru sebagai saksi yang seharusnya objektif.  Bukan dengan bersikap arogan, mendatangi pihak lawan tanpa melibatkan kesaksian dari pihak sekolah. Ingatlah setting ceritanya di sekolah, maka sebaiknya dari sanalah kita menyelesaikan persoalan.
            Keenam, Guru berhak menghukum siswa, orang tua berhak mengetahui alasannya. Guru adalah manusia, bukan malaikat tanpa rasa. Setiap hari guru menghadapi sedikitnya puluhan siswa, anak anda bukan satu-satunya. Adalah wajar jika demi mendisiplinkan siswa guru melakukan tindakan kuratif seperti mencubit siswa yang lupa mengerjakan PR, membentak siswa yang menganggu proses PBM, karena memang guru punya batasan sabar. Bukankah itu manusiawi? Akan sangat berlebihan, jika tiba-tiba seorang guru dimeja hijaukan karena mencubit anak yang lupa mengerjakan PR. Penting untuk dipertanyakan, jika ada seorang guru yang dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan, hanya karena dia membentak siswa yang menggangu proses PBM. Coba kembalikan pada diri anda sebagai orang tua, jika anak anda lalai memecahkan vas bunga kesayangan, bukankah secara spontan anda akan marah? Anda akan membentak bahkan mencubitnya? Apakah anda melakukan semua itu karena lebih menyayangi vas daripada buah hati anda sendiri? Tidak juga. Anda hanya ingin mendisplinkannya, anda hanya ingin memotivasinya untuk lebih berhati-hati. Guru pun demikian.
            Ketujuh, Biarkan anak bersaing dengan cara sehat. Berhenti menjadi orang tua yang pandai menjilat, yang rajin berkunjung dan memberi buah tangan pada guru hanya demi mengantarkannya pada posisi puncak. Akan ada saatnya untuk berterimakasih pada guru nantinya di proses kelulusan, jangan lakukan pada proses pembelajaran. Biarkan anak bersaing, mengerahkan segala kekuatannya untuk meraih sukses. Kita cukup berada di sisinya, menegakkan kembali semangatnya saat mulai goyah, meluruskan kembali niatnya saat mulai berbelok arah, dan bila memungkinkan kita menfasilitasinya untuk sukses. Tapi jangan panaskan lidah kita untuk memperdayai guru dengan cara nepotisme. Tak masalah jika seandainya anak gagal, bukankah mereka dalam proses belajar? Akan jadi masalah, jika kita memaksa anak berhasil dengan cara kita, bukan cara mereka.
            Kedelapan, Kendalikan lidah dan jari kita. Boleh kita menjadi orang tua yang kritis, bahkan sangat dianjurkan. Tapi ingat, terlalu pedas dapat menyakiti perut. Jika memang ada koreksi terhadap kinerja guru, akan lebih baik untuk membicarakannya secara langsung dengan guru yang bersangkutan melalui mediasi guru BK atau kepala sekolah. Jangan tiba-tiba kita datang menghadap langsung Kepala Dinas Pendidikan dan melaporkan kinerja guru yang buruk, tanpa mediasi awal dengan yang bersangkutan. Jangan karena kita seorang blogger atau aktivis sosial media lalu kita berhak menceritakan dengan lantang dan terbuka aib seorang guru. Dan lebih parahnya, jangan sesekali menghina atau merendahkan guru di hadapan anak anda sendiri. Biarkan dia tetap menaruh hormat pada gurunya. Jangan anda ambil rasa hormat itu karena untuk mengembalikannya akan sangat sulit.
            Dengan mengetahui batas koridor keterlibatannya, maka orang tua akan menjadi lebih bijak, menjadi mitra pendidikan yang harmonis, kooperatif dengan lembaga pendidikan. Toh, terlepas dari metode yang berbeda dan berseberangan paham, baik pihak sekolah maupun orang tua punya tujuan dan harapan yang sama untuk melihat anak tumbuh berhasil. Ingat, anak memang buah hati kita, anak adalah darah daging kita, separuh jiwa, tapi tetap saja dia titipan kehidupan. Tidak ada yang lebih penting, kecuali memberinya kebahagiaan, bukan memaksanya bahagia dalam versi anda sebagai orang tua.
           


1 komentar:

Sinopsis Film Belahan Jiwa, Sukses Bikin Kita Bingung

Kalau ada film yang sukses bikin kepalaku pening, ya film Belahan Jiwa. Apalagi film Belahan Jiwa hadir di masa mudaku yang belum...