Tahun pelajaran
2018/2019 baru saja dimulai. Ada beberapa fenomena yang cukup mengejutkan salah
satunya adalah berkurangnya jumlah siswa yang mendaftar di sekolah umum.
Beberapa pihak menilai bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh kebijakan zonasi,
meski sedianya jika mekanisme zonasi benar-benar diterapkan maka tidak perlu
ada sekolah yang mengeluhkan tentang jumlah pendaftar yang berkurang. Selain
faktor zonasi, skeptisisme orang tua terhadap sekolah umum dituding
sebagai alasan yang paling masuk akal mengapa mendadak jumlah pendaftar di
sekolah umum berkurang. Merosotnya moral siswa dan beberapa kasus pelanggaran
di lingkungan sekolah umum, semakin mengikis kepercayaan orang tua untuk
menitipkan buah hati mereka. Maka adalah wajar jika kemudian pondok pesantren
menjadi pilihan paling ideal dan populer di era yang semakin edan.
Terlepas dari asas demokrasi yang
memungkinkan seorang anak untuk membuat pilihan lembaga pendidikan yang
diinginkan, orang tua tetap memegang peranan penting dalam menentukan keputusan
akhir. Pada hakikatnya ini menyangkut kalkulasi biaya pendidikan yang harus
digelontorkan oleh orang tua. Namun di era digital yang memungkinkan orang tua
mengakses informasi lebih detail, banyak pertimbangan lain yang membuat orang
tua jaman kekinian menjadi lebih selektif, lebih cermat, bahkan tak jarang
mereka menjadi seperti vigilant’s customer yang menetapkan kriteria
kelewat muluk untuk lembaga pendidikan buah hatinya.
Sekolah memang bagian dari layanan
publik. Sudah menjadi kewajiban sekolah untuk memenuhi tujuan nasional
mencerdaskan kehidupan bangsa, mempersiapkan anak untuk terjun ke masyarakat
dengan kuatitas dan kualitas kognitif, afektif, psikomotorik yang seimbang dan
memadai. Guru adalah mitra orang tua, bahkan dulunya disebut sebagai orang tua
pengganti selama berada di lingkungan sekolah. Bukan berarti guru atau
penyelenggara pendidikan lainnya menjadi satu-satunya kambing hitam yang
wajib dipersalahkan jika seorang anak gagal. Akan menjadi sangat ironis, ketika
seorang anak dianggap berhasil maka peran guru seolah tak terbaca dalam
sejarah.
Sebagai mitra pendidik yang bijak,
keterlibatan orang tua dalam dunia pendidikan memang sangat diharapkan, namun
dalam koridor yang punya batasan. Orang tua bebas bersuara, memperlakukan diri
mereka sebagai konsumen yang wajib diperhatikan kepentingannya, tapi bukan
berarti mereka bebas berkoar mencari celah cacat dari pihak penyelenggara
pendidikan. Orang tua adalah bagian stakeholder yang berhak menentukan
arah kebijakan sekolah, tapi kata berhak bukan berarti semena-mena.
Sebagai layanan publik, sekolah tidak hanya melayani kepentingan satu atau
beberapa siswa, tapi ratusan. Jika setiap orang tua bertindak sebagai vigilant’s
customer, maka pihak penyelenggara pendidikan akan kehilangan ruang
otoritas. Lalu muncul semacam sentilan: Bikin aja sekolah sendiri, bapaknya
yang jadi kepala sekolah, ibunya yang jadi guru.
Untuk
membangun hubungan harmonis dengan pihak penyelenggara pendidikan, orang tua
harus punya dan mengerti batasan dimana mereka berhak bergerak. Melanggar
terlampau jauh batasan tersebut, justru akan berdampak buruk pada psikologi
anak. Anggapan bahwa: masih banyak sekolah yang mau menampung anak saya,
sedianya tidak menjadikan orang tua gegabah untuk memindahkan anak dari sekolah
lamanya hanya karena sebuah alasan kecil. Yang perlu diperhatikan orang tua
adalah, proses pindah sekolah membutuhkan adaptasi yang cukup lama, yang belum
tentu bisa dilewati seorang anak dengan mudah.
Apakah artikel ini menjadi semacam
kritikan yang melarang orang tua untuk terlibat dalam proses penyelenggaraan
pendidikan di sekolah? Tidak. Artikel dengan pengantar cukup panjang ini
hanya bertujuan untuk memotivasi orang tua untuk mengerti batasan koridor
keterlibatan mereka dalam dunia pendidikan. Lalu, apa saja batasan tersebut?
Pertama, Orang Tua berhak
membuat keputusan tentang lembaga pendidikan yang akan dipilih anak, tapi
diskusikan dulu dengan subjek. Ingat, yang dimaksud dengan subjek
pendidikan bukanlah orang tua, tapi anak. Yang akan mengenyam pendidikan hingga
lulus nanti adalah anak, bukan orang tua. Anak dalam rentang usia apapun berhak
untuk ditanyakan apa maunya. Jangan paksakan seorang anak dengan keterbatasan
fisik dan mental untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, hanya karena orang
tuanya malu untuk menyekolahkannya di sekolah luar biasa. Jangan paksa pula
seorang anak untuk masuk IPA, jika dia lemah dalam ilmu non verbal dan justru
luar biasa dalam ilmu sosial. Keterlibatan orang tua hanya dalam memberi
masukan, pertimbangan, bukan paksaan. Seorang anak harus menempuh pendidikan
dalam perasaan suka cita, benar-benar menikmati dunianya. Jangan memaksanya
hidup di dunia yang mengasingkannya.
Apakah semua orang yang dikatakan
“berhasil” adalah mereka dengan ijazah sekolah umum? Apakah masa depan yang
cemerlang hanya bagi mereka yang SMA nya masuk di jurusan IPA? Jawabannya:
tidak juga. Dunia bukan hanya butuh mereka yang lulus dari
sekolah umum. Dunia bukan hanya dikendalikan oleh mereka yang jago eksak. Dunia
butuh semua orang yang mau berusaha untuk memperbaiki kehidupan.
Kedua, Orang Tua boleh
mengantar anak sekolah, tapi bukan berarti boleh menemani mereka belajar. Di
hari pertama sekolah, memang sudah seharusnya orang tua menyempatkan diri
mengantar anak ke sekolah barunya, mempersiapkan mental mereka yang dipastikan
belum sepenuhnya bisa beradaptasi, terutama bagi mereka yang masih PAUD, TK
ataupun SD. Dan masih terlihat wajar, jika hal tersebut berlangsung hingga 2-3
hari atau bahkan seminggu. Tapi akan menjadi tidak wajar, jika melampaui
rentang waktu tersebut. Orang tua harus bersikap pasrah, merelakan buah hatinya
berjalan dengan gagah melewati gerbang sekolah tanpa kawalan orang tua. Biarkan
anak tumbuh sebagai sosok mandiri yang harus segera menemukan dan beradaptasi
dengan teman bermain yang baru. Pihak sekolah pun harus dengan tegas, melarang
orang tua untuk muncul pada kegiatan PBM kecuali pada moment-moment
tertentu. Untuk memantau kegiatan anak selama di sekolah, beberapa pihak
penyelenggara pendidikan membuat laporan harian secara digital, baik dengan
share foto, video melalui layanan grup whatsapp.
Ketiga, Orang tua wajib
bertanya atau memeriksa PR, membantu hanya jika anak butuh dibantu. Sudah
menjadi semacam rutinitas umum bagi seorang ibu untuk bertanya atau memeriksa
PR anak sepulang sekolah, dan akan menjadi lebih elok jika seorang ibu mampu
membiasakan anak mengerjakan PR sepulang sekolah. Tapi apa seorang anak wajib
dibantu dalam mengerjakan PR? Jawabannya: tidak wajib. Pada umumnya
seorang guru memberikan PR hanya untuk memotivasi anak membuka buku kembali,
jadi secara otomatis materi PR adalah materi yang sudah dipelajari anak di
sekolah. Maka biarkan saja anak mengerjakan PR mereka, dan hadirlah pada proses
final sebagai korektor, bukan joki. Jangan membiasakan seorang
anak menjadi manja, merasa berhak menuntut orang tua untuk membantu mereka
dalam mengerjakan PR.
Keempat, Pinjami anak
ganget, jangan memberikannya! Akad meminjam tentulah berbeda dengan
memiliki. Mereka yang meminjam akan dibatasi kewajiban untuk mengembalikan
dengan segera. Sebagai orang tua kita harus tegas, membebaskan diri dari
cercaan di luar yang mengangap kita pelit karena tidak mau menfasilitasi anak
dengan ganget. Zaman boleh canggih, era boleh digital, tapi bukan berarti
setiap anak Indonesia wajib memiliki ganget, lebih-lebih membawanya ke sekolah.
Ada aplikasi tertentu ganget yang memang wajib dikenal seorang anak, seperti
situs pencarian google, aplikasi sosmed dengan lawan bicara yang sudah
terdaftar dan disepakati orang tua, bahkan harus ada klasifikasi games-games
tertentu yang boleh dimainkan seorang anak dalam rentang usianya. Seperti
patutkah, seorang anak SD bermain games yang penuh dengan adegan kekerasan
seperti Call of Duty, yang memaksanya seolah terlibat dalam misi
membunuh diktator Kuba Fidel Castro? Bahkan mereka belum pernah sekalipun
membaca sejarah kepemimpinannya. Di sini orang tua berperan sebagai lembaga
sensor. Seperti hal nya acara TV, seharusnya ada label BO pada beberapa jenis
games di layar ganget.
Kelima, Lindungi anak,
tapi bersikaplah adil pada sesama. Anak terlibat dalam pertengkaran dengan
teman sepermainannya sudah biasa. Akan menjadi luar biasa, bila kita tiba-tiba
datang dengan amarah berlebih, lalu bertindak sebagai hakim yang hanya
memperhitungkan rasa sakit anak. Ingat, anak kita tak selalu jadi korban, bisa
saja dia pelakunya. Lagipula itu adalah perang kecil yang akan berakhir dengan
sendirinya, bahkan tanpa harus melewati kata maaf atau proses mediasi yang
rumit. Jangan karena melihat anak menangis, lalu kita bisa mempercayai penuh kronologis
cerita dari versinya. Anak-anak memang polos, bukan berarti mereka tidak bisa
berbohong demi melindungi diri bukan? Langkah terbaik saat melihat anak pulang
sekolah dalam keadaan menangis, adalah membandingkan kronologis cerita dari
versinya dengan penjelasan guru sebagai saksi yang seharusnya objektif. Bukan dengan bersikap arogan, mendatangi
pihak lawan tanpa melibatkan kesaksian dari pihak sekolah. Ingatlah setting
ceritanya di sekolah, maka sebaiknya dari sanalah kita menyelesaikan persoalan.
Keenam, Guru berhak
menghukum siswa, orang tua berhak mengetahui alasannya. Guru adalah
manusia, bukan malaikat tanpa rasa. Setiap hari guru menghadapi sedikitnya
puluhan siswa, anak anda bukan satu-satunya. Adalah wajar jika demi
mendisiplinkan siswa guru melakukan tindakan kuratif seperti mencubit siswa
yang lupa mengerjakan PR, membentak siswa yang menganggu proses PBM, karena memang
guru punya batasan sabar. Bukankah itu manusiawi? Akan sangat berlebihan, jika
tiba-tiba seorang guru dimeja hijaukan karena mencubit anak yang lupa
mengerjakan PR. Penting untuk dipertanyakan, jika ada seorang guru yang dituduh
melakukan perbuatan tidak menyenangkan, hanya karena dia membentak siswa yang
menggangu proses PBM. Coba kembalikan pada diri anda sebagai orang tua, jika
anak anda lalai memecahkan vas bunga kesayangan, bukankah secara spontan anda
akan marah? Anda akan membentak bahkan mencubitnya? Apakah anda melakukan semua
itu karena lebih menyayangi vas daripada buah hati anda sendiri? Tidak juga.
Anda hanya ingin mendisplinkannya, anda hanya ingin memotivasinya untuk lebih
berhati-hati. Guru pun demikian.
Ketujuh, Biarkan anak
bersaing dengan cara sehat. Berhenti menjadi orang tua yang pandai
menjilat, yang rajin berkunjung dan memberi buah tangan pada guru hanya demi
mengantarkannya pada posisi puncak. Akan ada saatnya untuk berterimakasih pada
guru nantinya di proses kelulusan, jangan lakukan pada proses pembelajaran.
Biarkan anak bersaing, mengerahkan segala kekuatannya untuk meraih sukses. Kita
cukup berada di sisinya, menegakkan kembali semangatnya saat mulai goyah,
meluruskan kembali niatnya saat mulai berbelok arah, dan bila memungkinkan kita
menfasilitasinya untuk sukses. Tapi jangan panaskan lidah kita untuk
memperdayai guru dengan cara nepotisme. Tak masalah jika seandainya anak gagal,
bukankah mereka dalam proses belajar? Akan jadi masalah, jika kita memaksa anak
berhasil dengan cara kita, bukan cara mereka.
Kedelapan, Kendalikan
lidah dan jari kita. Boleh kita menjadi orang tua yang kritis, bahkan
sangat dianjurkan. Tapi ingat, terlalu pedas dapat menyakiti perut. Jika memang
ada koreksi terhadap kinerja guru, akan lebih baik untuk membicarakannya secara
langsung dengan guru yang bersangkutan melalui mediasi guru BK atau kepala
sekolah. Jangan tiba-tiba kita datang menghadap langsung Kepala Dinas
Pendidikan dan melaporkan kinerja guru yang buruk, tanpa mediasi awal dengan
yang bersangkutan. Jangan karena kita seorang blogger atau aktivis
sosial media lalu kita berhak menceritakan dengan lantang dan terbuka aib
seorang guru. Dan lebih parahnya, jangan sesekali menghina atau merendahkan
guru di hadapan anak anda sendiri. Biarkan dia tetap menaruh hormat pada
gurunya. Jangan anda ambil rasa hormat itu karena untuk mengembalikannya akan
sangat sulit.
Dengan
mengetahui batas koridor keterlibatannya, maka orang tua akan menjadi lebih
bijak, menjadi mitra pendidikan yang harmonis, kooperatif dengan lembaga
pendidikan. Toh, terlepas dari metode yang berbeda dan berseberangan
paham, baik pihak sekolah maupun orang tua punya tujuan dan harapan yang sama
untuk melihat anak tumbuh berhasil. Ingat, anak memang buah hati kita, anak
adalah darah daging kita, separuh jiwa, tapi tetap saja dia titipan kehidupan. Tidak
ada yang lebih penting, kecuali memberinya kebahagiaan, bukan memaksanya
bahagia dalam versi anda sebagai orang tua.
ijin share ya kak makasih
BalasHapuscara membuat sosis bratwurst