Mereka bilang
aku pengangguran, hanya karena tak pernah melihatku keluar rumah mengenakan
seragam, tidak berburu waktu mengejar angkot di pagi buta, tidak berbasah
keringat sepulang kerja dan lupa bersorak di tanggal muda. Lah, untuk apa aku harus melakukan semua itu, jika masih ada yang bisa
kukerjakan dari rumah dan menghasilkan uang?
Lagi-lagi minggu ini, ada seorang pemuda rupawan dari kampung
seberang berniat menarikku ke pelaminan, Taka namanya. Kadung aku bersorak, melukis gaun pengantin dalam kanvas khayalan. Maklum saja usiaku sudah
genap 3 dasa. Tapi sial, kembali Taka harus menjumpai Eno, Vela dan Ajeng,
tetangga sepantaran yang kompak mendakwaku sebagai pengangguran. Lalu berpalinglah
dengan segera Si Taka tanpa sempat mampir di teras rumahku. Yah, dia pikir aku
bukan sekutu hidup yang mumpuni meringankan beban tanggungan nafkah suami
nantinya. Lah, Si Taka ini sebenarnya
mau mencari pasangan tulang rusuk apa tulang punggung sih?
Belum selesai dengan fitnah itu, kembali mereka sesumbar
menyinggung soal bagaimana aku berpakaian yang konon lebih mirip dengan orang
pakai mukena. Lalu dengan tegasnya mereka bersahut komentar di salah satu laman
media sosial, menegaskan bahwa model pakaian yang “begini ini” yang membuatku
gagal diterima bekerja di kantoran. Lah,
memang aku ngelamar?
Lulus kuliah 4 tahun lalu, ibu langsung mendaulatku
meneruskan usaha warung kelontongnya. Ayahku sepakat, dan dua kakak lelakiku
kompak mengiyakan mengingat kondisi kesehatan ibu yang tak memungkinkan untuk
duduk bangun melayani pembeli. Aku pribadi pun tak keberatan menanggalkan impianku
untuk bekerja di luar rumah. Toh, jika
mau aku masih bisa menyebut warung berukuran 4 X 3 meter ini sebagai kantor,
bedanya di sini aku tak perlu berseragam dan bersepatu ala Eno, Vela dan Ajeng.
Lah, dalam kamus KBBI dijelaskan
bahwa definisi bekerja adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
Tidak ada ketentuan mengenai seragam dan sepatu, kan?
“Kalau kamu cuma duduk di warung seharian, mana tahu kamu
dunia luar?” cibir Vela dengan bahu bergidik ngeri tiap kali membeli koyo
Salonpas di warungku.
Lalu menyambung di belakangnya, Ajeng yang mengantri
membeli obat pening. “Ya, Ta. Cobalah cari kerjaan di luar. Jangan
malas-malasan saja di rumah. Kasihan orang tuamu.”
Malas-malasan? Kasihan orang tua? Lah, kan mereka juga yang nyuruh aku jaga warung?
Dan kalimat berikutnya dari Eno nyaris membuatku ingin
meluluskan bisikan setan untuk membuat ketiganya celaka. “Tapi, Ta kalau mau
cari kerja itu baju mukena taruh dulu! Mana ada perusahaan yang mau terima karyawan
yang gaya berpakaiannya mirip istri teroris?”
Oh … buru-buru aku istighfar mengelus dada. Lalu dengan
sekali menarik nafas, aku kumpulkan keberanian untuk angkat bicara,
hitung-hitung membela harga diri yang lama terinjak, meski sedianya aku takut ini
akan menjadi semacam riya’.
“Aku nggak nganggur kok. Aku bekerja.”
“Bekerja apaan? Jaga warung? Mmmm …” bibir Vela kembali
menipis.
“Dua tahun ini aku jadi blogger. Makanya aku sering bawa lap top ke warung.”
Eno, Vela dan Ajeng beradu pandang satu sama lain.
“Blogger? Tapi
itu kan pekerjaan sampingan, paruh waktu, Dita.” Kejar Eno.
“Siapa bilang? Bagiku itu pekerjaan utama, dan aku
mengerjakannya di sepanjang waktuku.” Tukasku cepat, mencegah cela Eno
berlanjut.
Kembali kutarik nafas, kali ini lebih dalam. “Dengan bekerja
menjadi blogger aku juga tidak perlu
menanggalkan baju mukenaku ini.”
“Tapi berapa sih gaji blogger?
Eh, salah. Kok gaji sih? Mana pernah ya blogger
gajian?”
“Pernah, malah bisa lebih sering tergantung seberapa kuat
mata dan jari kita berjibaku dengan layar dan keyboard lap top. Aku bergabung di Google Adsense, dan dibayar per
klik untuk iklan yang dipasang. Alhamdulillah lumayan, harga CPC nya $0,07. Dan
tiap $ 100 sudah bisa gajian. Jadi gajiannya nggak perlu nunggu tanggal muda.”
“Memang apa yang kamu tulis di blog mu? Anjuran untuk
berhijab apa berjihad? Di zaman now
begini, mana ada yang mau baca artikel yang seperti itu?” Vela menyeringai.
“Ada, malah banyak. Lebih-lebih di zaman now, di saat semua orang mudah masuk angin,
pening, diare karena tekanan hidup dan tuntutan pekerjaan. Mereka pada akhirnya
membutuhkan ketenangan, kedamaian yang hanya bisa mereka dapatkan dengan
menambah keintiman dengan Sang Pencipta. Makanya nggak jarang manusia super di
kantoran, yang di sela waktu kerjanya suka browsing
soal agama.”
Kembalinya ketiganya saling beradu pandang, seperti
bingung mencari kalimat untuk kembali melumpuhkan kepercayaan diri yang baru
saja kubangun.
Pada akhirnya, Vela mendahului mengeluarkan uang 1000
perak untuk salonpas yang rutin dibelinya sepulang kerja. “Aku duluan, ya. “
pamitnya.
“Iya, Vela. Makasih.” Kusambut kalimat pamitnya dengan
anggukan kecil. “Ohya Jeng, jadi beli apa? Bodrex, Inza, Paramex …”
Atau ke-3 nya mau
ditelan sekalian?
“Panadol saja.” Jawab Ajeng sambil meremas kepalanya yang
berat.
Terakhir Si Eno yang malu-malu mengeluarkan selembar uang
bergambar Imam Bonjol kepadaku.
“Sama yang kemarin Diapetnya.”
“Masih diare, No?”
“Ehm … he’eh.”
Aku tersenyum mengangguk, meski sedianya aku gagal
melatenkan kegelianku. Hidup mereka sendiri saja sudah susah, masih sempat aja
ngurusin nasib orang.
Subhanaulloh cerpennya inspiratif
BalasHapusmasyaAllah keren, kak. aku pikir untuk bergabung ke google adsanse kita harus mengangkat tema yang universal karena farah basic nya juga dakwah. tapi, setelah membaca blog kaka farah jadi terinspirasi. mungkin kita bisa menukar alamat sosial media ?
BalasHapusterimakasih apresiasinya. belum lolos google adsanse kok dek
BalasHapuskaka seorang aktivis kampus ya
BalasHapuskaka seorang aktivis kampus ya
BalasHapusSuka aku dengan ceritanya
BalasHapus