Kemacetan menjadi wajah
ibu kota saat ini. INRIX, sebuah lembaga penganalisis data kemacetan yang
berpusat di Washington pada tahun 2016, menempatkan Jakarta sebagai kota dengan
kemacetan tertinggi kedua di Asia dan menduduki peringkat ke 12 dari 1064 kota
besar di dunia. Berbagai penyebab kemacetan pun coba diurai, mulai dari
membludaknya jumlah penduduk, lemahanya peraturan perundang-undangan dalam hal
kepemilikan kendaraan, membanjirnya produsen kendaraan bermotor, mobilitas
penduduk yang tinggi, hingga budaya antri dan disiplin lalu lintas yang masih
kurang. Segala cara sudah dilakukan pemerintah, baik pusat maupun Pemprov DKI
untuk mengendalikan angka kemacetan, mulai dari pemberlakuan nomor kendaraan
ganjil genap, hingga melakukan pembaharuan moda transportasi massal.
Jakarta berdiri di lahan seluas 661,52 dengan jumlah penduduk mencapai 10.374.235
jiwa di tahun 2017. Memperlebar ruas jalan demi mengurangi kemacetan tidak bisa
dijadikan solusi. Yang bisa dilakukan adalah membatasi jumlah penggunaan
kendaraan pribadi. Sebagai konsekuensi dari solusi tersebut, pemerintah harus
menyediakan alat transportasi massal yang mampu memenuhi kebutuhan dan
keinginan masyarakat untuk sampai ke tempat tujuan dengan selamat, cepat dan menyenangkan
selama di perjalanan.
Di tahun 2004, pemerintah secara resmi mulai
mengoperasikan layanan bus Trans Jakarta, bus dengan jalur khusus yang 11 tahun
kemudian mulai menggunakan uang elektronik sebagai ongkos. Wajah Jakarta
sebagai ibu kota memang berubah. Keberadaan Trans Jakarta paling tidak menjawab
keinginan masyarakat akan moda transportasi massal yang ramah, bersih, nyaman
dan cepat. Tapi untuk bisa mengurai kemacetan di ibu kota yang sudah kepalang
parah, layanan bus tetap saja makan tempat. Belum lagi, kurangnya kesadaran
pengguna jalan yang masih suka mencuri jalur bus Trans Jakarta demi menghemat
perjalanan, sehingga sering menyebabkan kecelakaan.
Polemik pada bus Trans Jakarta mengalihkan perhatian
pemerintah pada moda transportasi kereta. Selain mampu menampung penumpang
lebih besar, kereta cenderung lebih cepat karena memiliki jalur sendiri. Kereta
dan stasiun juga dinilai lebih historis dan sentimental jika dibandingkan bus. Tapi
kereta berbahan fosil di Indonesia rangkanya sudah semakin tua, belum lagi
aroma bahan bakar fosil yang tak pernah sedap untuk dihirup. Sudah waktunya
memang kita beralih pada kereta listrik. Sebagai ibu kota, Jakarta dinilai
terlambat untuk mengimbangi kemajuan kota besar lainnya di dunia. Sebut saja
Manila yang sudah mengenal MRT sejak tahun 1984, disusul oleh Singapura 3 tahun
kemudian dengan jalur tempuh menjangkau seluruh kota. Mengusung slogan “lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali”, Indonesia berusaha mengejar ketinggalan dengan meluncurkan KRL (Kereta
Rel Listrik), LRT (Light Rapid Transit)
yang sedianya dioperasikan untuk membantu mobilisasi para atlet Asian Games
selama tahun 2018 kemarin.
Asian Games telah berakhir, lalu apa kabar LRT Jakarta
dan LRT Palembang? LRT Palembang boleh saja sepi peminat karena terbatasnya
akses dan jangkauan, tapi tidak dengan LRT Jakarta. Mobilitas penduduk yang
jauh lebih tinggi ditambah kemacetan Jakarta yang sulit dilerai, menjadi alasan
kuat mengapa warga Jakarta patut beralih pada moda transportasi massal LRT. Meski
hanya memiliki jalur lintas 5,8 Km dan mau tidak mau harus bersaing ketat dengan
teman sejawatnya, MRT (Mass Rapid Transit), LRT Jakarta dipastikan akan menjadi
layanan moda transportasi yang lincah, ramah, terpercaya, dengan tagline Moving People Connecting Communitities.
LRT Jakarta
dibangun oleh PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, dengan menelan biaya kurang lebih
Rp 500 milliar untuk setiap kilometernya, nominal yang sempat diperdebatkan
oleh para punggawa negeri yang menilainnya terlalu boros. LRT pertama kali
diuji pada 15 Agustus 2018, dengan dua fase jalur. Pertama fase A dengan jalur
Pengangsaan Dua – Velodrome, dan fase kedua dari Velodrome ke Tanah Abang.
Lalu
apa saja kelebihan LRT jika dibandingkan dengan moda transportasi sejenis,
seperti MRT dan KRL?
1. LRT lebih ramping
LRT
Jakarta memiliki figur gerbong yang lebih ramping bahkan jika dibandingkan
dengan MRT sekalipun. Dengan volume ruang 11,5 meter X 2,6 meter X 3,6 meter,
LRT tampil lebih ringan, fleksibel sehingga dapat meliuk lincah di jalur
melayang atau elevated rel. Sementara
gerbong MRT dengan dimensi ruang 20 meter X 2,9 meter X 3,9 meter menjadi lebih
kaku, karena MRT memang didesain untuk trek
yang cenderung lurus sehingga minim manuver. Berbeda dengan LRT, yang
menggunakan sistem listrik aliran bawah dan dipasangi articulated bogie di antara gerbong sehingga mampu bermanuver
stabil hingga belokan 40 meter. LRT sendiri digambarkan sebagai kereta dengan
beban per gandar (axle) maksimum 12 ton, sehingga terpositioning sebagai kereta
ringan. Untuk membedakannya dengan moda transportasi lain, LRT membawa unsur
warna kebangsaan merah putih dengan corak emas yang mewakili unsur budaya
batik.
2. Bebas macet dan tidak menyebabkan
kemacetan
Berjalan
di elevated rel, memungkinkan LRT bergerak tanpa aral rintang,
terutama kemacetan. Seluruh jalur dibuat melayang sehingga tidak menimbulkan
konflik jalur seperti kereta pada umumnya.
3. Kecepatan maksimal
Kecepatan
meluncur LRT memang kalah jika dibandingkan MRT yang mampu meluncur 100 – 150
kilometer per jam. Tapi dengan kecepatan top
speed 90 kilometer per jam, LRT memiliki jarak antar kereta (headway) yang stabil
sehingga kecepatan waktu tempuh tetap menjadi keunggulan dari moda kereta yang
satu ini.
4. Depo terintegrasi Area Komersil
Depo
LRT semacam klinik, tempat penyimpanan, pemeriksaan sekaligus perawatan LRT. Sebagai
ruang rawat inap, depo LRT dikembangkan dengan konsep transit oriented
development (TOD). Selain itu depo LRT direncanakan
akan terintegrasi dengan area komersil dan residensial. Nantinya depo akan
memiliki diversifikasi fungsi, bisa belanja, beristirahat, mandi sudah semacam
rest area.
5. Terintegrasi dengan moda
transportasi lainnya
Bicara
tentang rencana integrasi, nantinya LRT akan terintegrasi dengan Trans Jakarta
di Perintis Kemerdekaan, sehingga dapat memacu pembaruan pembangunan di areal
tersebut. LRT nantinya juga akan terintegrasi dengan KRL, MRT dan Jak Lingko. Bersaing
sehat dari segi ekonomi, pada akhirnya moda transportasi ini terintegrasi untuk
memudahkan warga Jakarta dalam memanuver.
6. Stasiun yang terpercaya
Ada
6 stasiun LRT, yang tersebar di Jakarta hingga kota-kota satelitnya seperti
Bekasi dan Cibubur. Selain itu pilihan stasiun yang lebih representatif ,
stasiun LRT juga memiliki fasilitas memadai mulai dari ruang ibadah, toilet,
pos kesehatan, hingga ruang menyusui. Bagi penyandang disabilitas sudah
disediakan guiding block (jalur
khusus tunanetra), toilet yang memudahkan manuver kursi roda hingga elevator.
7. Aman
Berbekal
2 – 4 rangkaian kereta, dengan kapasitas penumpang sepertiga saja dari MRT,
yaitu 600 penumpang, LRT akan menjadi moda transportasi yang menenangkan dan tidak
terlalu bising. Fasilitas yang ditawarkan dalam gerbong pun lengkap, mulai dari
tombol PEI, CCTV, katup pintu darurat, layar PID dan area pengguna prioritas
bagi penyandang disabilitas maupun wanita. Dijamin si mungil dapat memberikan
keamanan dan kenyamanan maksimal.
bagus sekali untuk dibaca
BalasHapusjenis jenis bumbu dapur