Rabu, 14 Februari 2018

Aku Nggak Nganggur Kok!



            Mereka bilang aku pengangguran, hanya karena tak pernah melihatku keluar rumah mengenakan seragam, tidak berburu waktu mengejar angkot di pagi buta, tidak berbasah keringat sepulang kerja dan lupa bersorak di tanggal muda. Lah, untuk apa aku harus melakukan semua itu, jika masih ada yang bisa kukerjakan dari rumah dan menghasilkan uang?

            Lagi-lagi minggu ini, ada seorang pemuda rupawan dari kampung seberang berniat menarikku ke pelaminan, Taka namanya. Kadung aku bersorak, melukis gaun pengantin dalam  kanvas khayalan. Maklum saja usiaku sudah genap 3 dasa. Tapi sial, kembali Taka harus menjumpai Eno, Vela dan Ajeng, tetangga sepantaran yang kompak mendakwaku sebagai pengangguran. Lalu berpalinglah dengan segera Si Taka tanpa sempat mampir di teras rumahku. Yah, dia pikir aku bukan sekutu hidup yang mumpuni meringankan beban tanggungan nafkah suami nantinya. Lah, Si Taka ini sebenarnya mau mencari pasangan tulang rusuk apa tulang punggung sih?
            Belum selesai dengan fitnah itu, kembali mereka sesumbar menyinggung soal bagaimana aku berpakaian yang konon lebih mirip dengan orang pakai mukena. Lalu dengan tegasnya mereka bersahut komentar di salah satu laman media sosial, menegaskan bahwa model pakaian yang “begini ini” yang membuatku gagal diterima bekerja di kantoran. Lah, memang aku ngelamar?        
            Lulus kuliah 4 tahun lalu, ibu langsung mendaulatku meneruskan usaha warung kelontongnya. Ayahku sepakat, dan dua kakak lelakiku kompak mengiyakan mengingat kondisi kesehatan ibu yang tak memungkinkan untuk duduk bangun melayani pembeli. Aku pribadi pun tak keberatan menanggalkan impianku untuk bekerja di luar rumah. Toh, jika mau aku masih bisa menyebut warung berukuran 4 X 3 meter ini sebagai kantor, bedanya di sini aku tak perlu berseragam dan bersepatu ala Eno, Vela dan Ajeng. Lah, dalam kamus KBBI dijelaskan bahwa definisi bekerja adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Tidak ada ketentuan mengenai seragam dan sepatu, kan?
            “Kalau kamu cuma duduk di warung seharian, mana tahu kamu dunia luar?” cibir Vela dengan bahu bergidik ngeri tiap kali membeli koyo Salonpas di warungku.
            Lalu menyambung di belakangnya, Ajeng yang mengantri membeli obat pening. “Ya, Ta. Cobalah cari kerjaan di luar. Jangan malas-malasan saja di rumah. Kasihan orang tuamu.”
            Malas-malasan? Kasihan orang tua? Lah, kan mereka juga yang nyuruh aku jaga warung?
            Dan kalimat berikutnya dari Eno nyaris membuatku ingin meluluskan bisikan setan untuk membuat ketiganya celaka. “Tapi, Ta kalau mau cari kerja itu baju mukena taruh dulu! Mana ada perusahaan yang mau terima karyawan yang gaya berpakaiannya mirip istri teroris?”


            Oh … buru-buru aku istighfar mengelus dada. Lalu dengan sekali menarik nafas, aku kumpulkan keberanian untuk angkat bicara, hitung-hitung membela harga diri yang lama terinjak, meski sedianya aku takut ini akan menjadi semacam riya’.
            “Aku nggak nganggur kok. Aku bekerja.”
            “Bekerja apaan? Jaga warung? Mmmm …” bibir Vela kembali menipis.
            “Dua tahun ini aku jadi blogger. Makanya aku sering bawa lap top ke warung.”
            Eno, Vela dan Ajeng beradu pandang satu sama lain.
            Blogger? Tapi itu kan pekerjaan sampingan, paruh waktu, Dita.” Kejar Eno.
            “Siapa bilang? Bagiku itu pekerjaan utama, dan aku mengerjakannya di sepanjang waktuku.” Tukasku cepat, mencegah cela Eno berlanjut.
            Kembali kutarik nafas, kali ini lebih dalam. “Dengan bekerja menjadi blogger aku juga tidak perlu menanggalkan baju mukenaku ini.”
            “Tapi berapa sih gaji blogger? Eh, salah. Kok gaji sih? Mana pernah ya blogger gajian?”
            “Pernah, malah bisa lebih sering tergantung seberapa kuat mata dan jari kita berjibaku dengan layar dan keyboard lap top. Aku bergabung di Google Adsense, dan dibayar per klik untuk iklan yang dipasang. Alhamdulillah lumayan, harga CPC nya $0,07. Dan tiap $ 100 sudah bisa gajian. Jadi gajiannya nggak perlu nunggu tanggal muda.”
            “Memang apa yang kamu tulis di blog mu? Anjuran untuk berhijab apa berjihad? Di zaman now begini, mana ada yang mau baca artikel yang seperti itu?” Vela menyeringai.
            “Ada, malah banyak. Lebih-lebih di zaman now, di saat semua orang mudah masuk angin, pening, diare karena tekanan hidup dan tuntutan pekerjaan. Mereka pada akhirnya membutuhkan ketenangan, kedamaian yang hanya bisa mereka dapatkan dengan menambah keintiman dengan Sang Pencipta. Makanya nggak jarang manusia super di kantoran, yang di sela waktu kerjanya suka browsing soal agama.”
            Kembalinya ketiganya saling beradu pandang, seperti bingung mencari kalimat untuk kembali melumpuhkan kepercayaan diri yang baru saja kubangun.
            Pada akhirnya, Vela mendahului mengeluarkan uang 1000 perak untuk salonpas yang rutin dibelinya sepulang kerja. “Aku duluan, ya. “ pamitnya.
            “Iya, Vela. Makasih.” Kusambut kalimat pamitnya dengan anggukan kecil. “Ohya Jeng, jadi beli apa? Bodrex, Inza, Paramex …”
            Atau ke-3 nya mau ditelan sekalian?
            “Panadol saja.” Jawab Ajeng sambil meremas kepalanya yang berat.
            Terakhir Si Eno yang malu-malu mengeluarkan selembar uang bergambar Imam Bonjol kepadaku.
            “Sama yang kemarin Diapetnya.”
            “Masih diare, No?”
            “Ehm … he’eh.”

            Aku tersenyum mengangguk, meski sedianya aku gagal melatenkan kegelianku. Hidup mereka sendiri saja sudah susah, masih sempat aja ngurusin nasib orang.
            


           
           

6 komentar:

  1. masyaAllah keren, kak. aku pikir untuk bergabung ke google adsanse kita harus mengangkat tema yang universal karena farah basic nya juga dakwah. tapi, setelah membaca blog kaka farah jadi terinspirasi. mungkin kita bisa menukar alamat sosial media ?

    BalasHapus
  2. terimakasih apresiasinya. belum lolos google adsanse kok dek

    BalasHapus
  3. kaka seorang aktivis kampus ya

    BalasHapus
  4. kaka seorang aktivis kampus ya

    BalasHapus

Sinopsis Film Belahan Jiwa, Sukses Bikin Kita Bingung

Kalau ada film yang sukses bikin kepalaku pening, ya film Belahan Jiwa. Apalagi film Belahan Jiwa hadir di masa mudaku yang belum...