Meski
tak sepopuler film Demi Moore lainnya, film drama berdurasi 1 jam 36
menit yang rilis tahun 2010 ini sedikitnya bisa mewakili kuliah pemasaran
stratejik 3 sks dan buku manajemen pemasaran Philip Kotler yang tebalnya
mencapai 414 halaman untuk satu jilid. Secara garis besar film The Joneses
menceritakan tentang sebuah tim marketing yang terdiri dari 4 orang dan
ditempatkan di sebuah komplek perumahan mewah sebagai keluarga fiktif, dengan
misi mempengaruhi tetangga sekitar agar lebih konsumtif melalui gaya hidup ala ‘American
Dream’ yang mereka pamerkan.
Terlepas dari kontroversi strategi
pemasarannya yang seolah menghalalkan ‘pernikahan fiktif’ dan tidak humanis,
film ini bisa memberikan trik jitu untuk mencapai pasar sasaran tanpa harus berjibaku
secara langsung dengan pesaing.
1.
Ciptakan
Kebutuhan, Penuhi Lalu Puaskan
Pada
dasarnya seorang pemasar diberi keterampilan untuk merangsang permintaan
produk-produk dari perusahaan. Sayangnya, masih banyak pemasar yang terpaku
pada teori lama dimana mereka dibebankan untuk menarik konsumen baru,
mempertahankan konsumen lama dengan cara memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan
keinginan konsumen yang seolah tak putus. Seolah sebagai pemasar kita sangat
bergantung pada konsumen.
Hal
itu tidaklah salah, setidaknya guru pemasaran sekaliber Philip Kotler
akan membenarkannya. Tapi tidakkah itu melelahkan? Konsumen adalah raja, tapi
dengan keinginan-keinginan muluk yang ironis dengan permintaan harga. Sebut
saja untuk mempertahankan 1 konsumen lama kita harus menahan diri untuk tidak
beradu argumentasi tentang cacat produk yang selalu berhasil mereka temukan. Apalagi
untuk menarik konsumen baru, dibutuhkan biaya promosi 5 kali lipat lebih besar
daripada sekedar melayani konsumen lama. Belum lagi kita harus menghadapi
arogansi pemimpin pasar, memutar otak untuk membinasakan pemalsu dan peniru,
termasuk mengutak-atik kembali rancangan 4P (product, price, places dan
promotion) demi beradaptasi pada daur hidup pasar. Tidakkah kita berpikir
untuk melawan arus dengan menempatkan diri sebagai ‘raja’ yang berkuasa ‘menciptakan
kebutuhan’ bukan sekedar memenuhinya?
Steve
(David Duchvny) yang kebagian
memerankan tokoh ayah di film The Joneses, berhasil menyadarkan target
pasar akan kebutuhan ‘indoor golf simulator’ yang sebelumnya belum
terpikirkan oleh para tetangga untuk memilikinya. Selama ini penghuni komplek
perumahan telah cukup terpuaskan dengan lapangan golf virtual yang mengharuskan
mereka keluar rumah dan melawan panas terik. Tapi demi melihat bagaimana Steve
dengan indoor golf simulatornya yang keren dan membebaskannya
berolahraga tanpa berhadapan langsung dengan paparan panas, keinginan membeli
itu timbul begitu saja tanpa perlu Steve membujuk ala sales door to door.
Kita
belajar pada produk i-ring mobile phone atau gantungan HP yang sempat
laris manis di tahun 2004 an awal dengan desain lucu dan lampu kecil yang
berpendar-pendar ketika ada panggilan atau sms masuk. Pertanyaan yang muncul
kemudian, apakah produk tersebut lahir dari keinginan atau kebutuhan konsumen?
Atau pernahkah secara lugas produk tersebut ramai diiklankan di TV atau media
cetak? Dua pertanyaan dengan satu jawaban yang sama: tidak. Produk
tersebut murni lahir dari kreativitas produsen awal, dan konsumen baru
menyadarinya ketika mereka mengunjungi gerai/counter dan mendapati produk
tersebut bersanding merapat di dekat HP. Maka terbit begitu saja rasa penasaran
konsumen tentang nama dan manfaatnya. Wiraniaga hanya perlu memberikan contoh
pemakaian dan dengan sendirinya konsumen digiring pada hasrat untuk memiliki, lalu
menularkan hasrat tersebut pada orang di sekitar. Berbekal strategi M2M (Mouth
to Moutht) produk ini mulai , dan masyarakat sepakat mengangapnya bagian
dari atribut HP yang harus dipenuhi. Lalu
apa perlunya lagi mengiklankannya secara agresif di TV?
Indoor
golf simulator atau i-ring
mobile phone adalah sebagian dari contoh kebutuhan yang terlambat disadari
konsumen. Maka tugas kita sebagai pemasar adalah menemukan kebutuhan tersebut
lebih cepat, berusaha memenuhi dan setelahnya barulah berpikir untuk memuaskan.
Philip Kotler pernah menegaskan dalam buku Manajemen Pemasaran Edisi
Millenium bahwa hal yang paling penting dari konsep pemasaran adalah bagaimana
meramalkan kemana konsumen bergerak, dan beradalah di depan mereka.
2.
Menjual
‘Gaya Hidup’ Bukan Produk.
Sering
kita jumpai di tengah terik panas seorang sales dengan tas jinjing berkeliling
kampung, door to door menawarkan produk perusahaan, yang kadang disambut
ramah dan disuguhi teh, tapi seringnya ditolak bahkan sebelum mereka sempat
mengeluarkan produk dari dalam tas.
Mengapa
terjadi demikian? Pada dasarnya dalam proses pembelian, konsumen tidak suka
diintimidasi, lalu dengan secara terpaksa membeli apa yang sejatinya tidak
ingin mereka beli. Sekelompok remaja putri akan lebih merasa nyaman berbelanja
baju di mall daripada di toko kecil dengan kawalan ketat pramuniaga yang seolah
giat bertanya: Cari apa mbak? Dari tadi kok bingung? Mau cari rok atau
celana? Kalau celana mau cari bahan apa, ukuran berapa?. Rentetan
pertanyaan di atas akan mengurangi tensi semangat mereka untuk memilih.
Salah-salah mereka kabur karena malas dengan keagresifan pramuniaga yang seperti
memaksa mereka untuk segera menentukan pilihan.
Berhenti
terlihat sebagai ‘penjual produk’ yang mengintimidasi. Beralihlah menobatkan
diri sebagai pemilik gaya hidup atau trendsetter. Di film The Joneses,
Kate Jones (Demi Moore) untuk bisa menjual sepatu olahraga mahal, hanya
perlu berlari-lari kecil di sekitar komplek dan membiarkan para tetangga
terpukau dengan tampilan alas kakinya. Dia juga tidak pelit mengundang
tetangganya ke rumah hanya demi memamerkan alat makannya yang terbuat dari
kristal. Di sini Kate Jones secara anggun berusaha mempengaruhi tetangga
sekitar untuk ikutan membeli produk yang dia pakai, tanpa harus membujuk,
lebih-lebih mengintimidasi ala pramuniaga toko.
Lalu
bisakah strategi marketing ala film The Joneses ini kita aplikasikan di
kehidupan nyata? Kecuali tentang ‘pernikahan fiktif’ nya yang menyimpang
dari firman Tuhan dan kultur, tentu saja strategi ini sah-sah saja dilakukan.
Sebagai contoh, kita bisa menempatkan seorang sales sebagai mahasiswi di sebuah
kampus ternama dengan gaya hidup yang mengundang decak kagum. Kita bisa
membekali mahasiswi tersebut dengan baju, sepatu, tas, aksesories, atau apapun
produk perusahaan, lalu membiarkannya membaur dengan mahasiswi lain, tapi tentu
saja dengan penampilan yang bernilai jual. Dengan sendirinya ini akan memberi
akses pada mahasiswi lain untuk bertanya: Tas sepertimu, belinya dimana?
Bahannya bagus.” Dan disitulah umpan bersambut tanpa perlu kita
menghabiskan dana untuk membuat iklan di TV atau mengendorse artis dan
selebgram agar mempromosikan produk kita di akunnya. Sekedar
informasi saja, salah satu penyanyi dangdut dengan follower 4,2 M
bersedia menerima tawaran endorse dengan harga 6 juta untuk foto dan 8
juta untuk video, itupun hanya berlaku selama 2 minggu dan setelahnya akan
dihapus. Pertanyaanya adalah: apakah kita bisa meraup untung lebih dari 6
juta dalam 2 minggu hanya dengan mengandalkan foto itu artis?
3.
Identifikasi Segmen Lalu Pilih Pasar Sasaran
Dalam
hal pemasaran sasaran, perusahaan memulainya dengan membedakan segmen-segmen
pasar utama, membidik satu atau dua segmen, lalu mengembangkan produk serta
program pemasaran yang dirancang khusus bagi masing-masing segmen. Dasar
segmentasi pasar sendiri mempertimbangkan beberapa variabel seperti geografis,
demografis, psikografis dan perilaku.
Pemasaran
sasaran di film The Joneses dimulai dengan menentukan variabel
geografis, yaitu daerah pinggiran kota. Selanjutnya perusahaan membagi
masing-masing anggota tim untuk variabel demografis, dimulai dari Steve untuk
segmen pria dewasa/ayah, Kate mewakili segmen wanita dewasa/ibu, Mick untuk
remaja putra dan Jane untuk remaja putri. Variabel demografis lain yang mereka
pertimbangkan adalah kelas sosial atas dengan pendapatan rata-rata USS 100.000
perbulan. Tentu saja sebelumnya perusahaan tersebut diceritakan telah melakukan
tahapan survei dan analisis.
Sejatinya,
tim marketing yang satu ini cukup sukses pada tahapan segmentasi, kecuali fakta
bahwa mereka mengabaikan variabel psikografis pasar sasaran hanya demi mengeruk
keuntungan lebih banyak. Sekedar tambahan sinopsis, seorang tetangga mereka yang
kompulsif pada akhirnya memilih bunuh diri karena terlalu banyak menanggung
hutang akibat pengaruh gaya hidup mereka. Hal ini yang kemudian menyadarkan
Steve untuk mengakhiri permainan dengan mengumumkan bahwa mereka bukanlah
keluarga yang sempurna, tapi hanya tim marketing yang bergerak karena sebuah
kontrak.
Ambil
yang positif dari film ini, sekedar memperkaya wawasan kita tentang strategi
pemasaran yang mumpuni tanpa mengabaikan unsur kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar