Minggu, 10 Desember 2017

TRIK PEMASARAN JITU ALA FILM THE JONESES



Meski tak sepopuler film Demi Moore lainnya, film drama berdurasi 1 jam 36 menit yang rilis tahun 2010 ini sedikitnya bisa mewakili kuliah pemasaran stratejik 3 sks dan buku manajemen pemasaran Philip Kotler yang tebalnya mencapai 414 halaman untuk satu jilid. Secara garis besar film The Joneses menceritakan tentang sebuah tim marketing yang terdiri dari 4 orang dan ditempatkan di sebuah komplek perumahan mewah sebagai keluarga fiktif, dengan misi mempengaruhi tetangga sekitar agar lebih konsumtif melalui gaya hidup ala ‘American Dream’ yang mereka pamerkan.
            Terlepas dari kontroversi strategi pemasarannya yang seolah menghalalkan ‘pernikahan fiktif’ dan tidak humanis, film ini bisa memberikan trik jitu untuk mencapai pasar sasaran tanpa harus berjibaku secara langsung dengan pesaing.
1.    Ciptakan Kebutuhan, Penuhi Lalu Puaskan
Pada dasarnya seorang pemasar diberi keterampilan untuk merangsang permintaan produk-produk dari perusahaan. Sayangnya, masih banyak pemasar yang terpaku pada teori lama dimana mereka dibebankan untuk menarik konsumen baru, mempertahankan konsumen lama dengan cara memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen yang seolah tak putus. Seolah sebagai pemasar kita sangat bergantung pada konsumen.
Hal itu tidaklah salah, setidaknya guru pemasaran sekaliber Philip Kotler akan membenarkannya. Tapi tidakkah itu melelahkan? Konsumen adalah raja, tapi dengan keinginan-keinginan muluk yang ironis dengan permintaan harga. Sebut saja untuk mempertahankan 1 konsumen lama kita harus menahan diri untuk tidak beradu argumentasi tentang cacat produk yang selalu berhasil mereka temukan. Apalagi untuk menarik konsumen baru, dibutuhkan biaya promosi 5 kali lipat lebih besar daripada sekedar melayani konsumen lama. Belum lagi kita harus menghadapi arogansi pemimpin pasar, memutar otak untuk membinasakan pemalsu dan peniru, termasuk mengutak-atik kembali rancangan 4P (product, price, places dan promotion) demi beradaptasi pada daur hidup pasar. Tidakkah kita berpikir untuk melawan arus dengan menempatkan diri sebagai ‘raja’ yang berkuasa ‘menciptakan kebutuhan’ bukan sekedar memenuhinya?
Steve (David Duchvny) yang kebagian memerankan tokoh ayah di film The Joneses, berhasil menyadarkan target pasar akan kebutuhan ‘indoor golf simulator’ yang sebelumnya belum terpikirkan oleh para tetangga untuk memilikinya. Selama ini penghuni komplek perumahan telah cukup terpuaskan dengan lapangan golf virtual yang mengharuskan mereka keluar rumah dan melawan panas terik. Tapi demi melihat bagaimana Steve dengan indoor golf simulatornya yang keren dan membebaskannya berolahraga tanpa berhadapan langsung dengan paparan panas, keinginan membeli itu timbul begitu saja tanpa perlu Steve membujuk ala sales door to door.
Kita belajar pada produk i-ring mobile phone atau gantungan HP yang sempat laris manis di tahun 2004 an awal dengan desain lucu dan lampu kecil yang berpendar-pendar ketika ada panggilan atau sms masuk. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah produk tersebut lahir dari keinginan atau kebutuhan konsumen? Atau pernahkah secara lugas produk tersebut ramai diiklankan di TV atau media cetak? Dua pertanyaan dengan satu jawaban yang sama: tidak. Produk tersebut murni lahir dari kreativitas produsen awal, dan konsumen baru menyadarinya ketika mereka mengunjungi gerai/counter dan mendapati produk tersebut bersanding merapat di dekat HP. Maka terbit begitu saja rasa penasaran konsumen tentang nama dan manfaatnya. Wiraniaga hanya perlu memberikan contoh pemakaian dan dengan sendirinya konsumen digiring pada hasrat untuk memiliki, lalu menularkan hasrat tersebut pada orang di sekitar. Berbekal strategi M2M (Mouth to Moutht) produk ini mulai , dan masyarakat sepakat mengangapnya bagian dari atribut HP yang harus dipenuhi.  Lalu apa perlunya lagi mengiklankannya secara agresif di TV?
Indoor golf simulator atau i-ring mobile phone adalah sebagian dari contoh kebutuhan yang terlambat disadari konsumen. Maka tugas kita sebagai pemasar adalah menemukan kebutuhan tersebut lebih cepat, berusaha memenuhi dan setelahnya barulah berpikir untuk memuaskan. Philip Kotler pernah menegaskan dalam buku Manajemen Pemasaran Edisi Millenium bahwa hal yang paling penting dari konsep pemasaran adalah bagaimana meramalkan kemana konsumen bergerak, dan beradalah di depan mereka.
2.    Menjual ‘Gaya Hidup’ Bukan Produk.
Sering kita jumpai di tengah terik panas seorang sales dengan tas jinjing berkeliling kampung, door to door menawarkan produk perusahaan, yang kadang disambut ramah dan disuguhi teh, tapi seringnya ditolak bahkan sebelum mereka sempat mengeluarkan produk dari dalam tas.
Mengapa terjadi demikian? Pada dasarnya dalam proses pembelian, konsumen tidak suka diintimidasi, lalu dengan secara terpaksa membeli apa yang sejatinya tidak ingin mereka beli. Sekelompok remaja putri akan lebih merasa nyaman berbelanja baju di mall daripada di toko kecil dengan kawalan ketat pramuniaga yang seolah giat bertanya: Cari apa mbak? Dari tadi kok bingung? Mau cari rok atau celana? Kalau celana mau cari bahan apa, ukuran berapa?. Rentetan pertanyaan di atas akan mengurangi tensi semangat mereka untuk memilih. Salah-salah mereka kabur karena malas dengan keagresifan pramuniaga yang seperti memaksa mereka untuk segera menentukan pilihan.
Berhenti terlihat sebagai ‘penjual produk’ yang mengintimidasi. Beralihlah menobatkan diri sebagai pemilik gaya hidup atau trendsetter. Di film The Joneses, Kate Jones (Demi Moore) untuk bisa menjual sepatu olahraga mahal, hanya perlu berlari-lari kecil di sekitar komplek dan membiarkan para tetangga terpukau dengan tampilan alas kakinya. Dia juga tidak pelit mengundang tetangganya ke rumah hanya demi memamerkan alat makannya yang terbuat dari kristal. Di sini Kate Jones secara anggun berusaha mempengaruhi tetangga sekitar untuk ikutan membeli produk yang dia pakai, tanpa harus membujuk, lebih-lebih mengintimidasi ala pramuniaga toko.
Lalu bisakah strategi marketing ala film The Joneses ini kita aplikasikan di kehidupan nyata? Kecuali tentang ‘pernikahan fiktif’ nya yang menyimpang dari firman Tuhan dan kultur, tentu saja strategi ini sah-sah saja dilakukan. Sebagai contoh, kita bisa menempatkan seorang sales sebagai mahasiswi di sebuah kampus ternama dengan gaya hidup yang mengundang decak kagum. Kita bisa membekali mahasiswi tersebut dengan baju, sepatu, tas, aksesories, atau apapun produk perusahaan, lalu membiarkannya membaur dengan mahasiswi lain, tapi tentu saja dengan penampilan yang bernilai jual. Dengan sendirinya ini akan memberi akses pada mahasiswi lain untuk bertanya: Tas sepertimu, belinya dimana? Bahannya bagus.” Dan disitulah umpan bersambut tanpa perlu kita menghabiskan dana untuk membuat iklan di TV atau mengendorse artis dan selebgram agar mempromosikan produk kita di akunnya. Sekedar informasi saja, salah satu penyanyi dangdut dengan follower 4,2 M bersedia menerima tawaran endorse dengan harga 6 juta untuk foto dan 8 juta untuk video, itupun hanya berlaku selama 2 minggu dan setelahnya akan dihapus. Pertanyaanya adalah: apakah kita bisa meraup untung lebih dari 6 juta dalam 2 minggu hanya dengan mengandalkan foto itu artis?
3.     Identifikasi Segmen Lalu Pilih Pasar Sasaran
Dalam hal pemasaran sasaran, perusahaan memulainya dengan membedakan segmen-segmen pasar utama, membidik satu atau dua segmen, lalu mengembangkan produk serta program pemasaran yang dirancang khusus bagi masing-masing segmen. Dasar segmentasi pasar sendiri mempertimbangkan beberapa variabel seperti geografis, demografis, psikografis dan perilaku.
Pemasaran sasaran di film The Joneses dimulai dengan menentukan variabel geografis, yaitu daerah pinggiran kota. Selanjutnya perusahaan membagi masing-masing anggota tim untuk variabel demografis, dimulai dari Steve untuk segmen pria dewasa/ayah, Kate mewakili segmen wanita dewasa/ibu, Mick untuk remaja putra dan Jane untuk remaja putri. Variabel demografis lain yang mereka pertimbangkan adalah kelas sosial atas dengan pendapatan rata-rata USS 100.000 perbulan. Tentu saja sebelumnya perusahaan tersebut diceritakan telah melakukan tahapan survei dan analisis.
Sejatinya, tim marketing yang satu ini cukup sukses pada tahapan segmentasi, kecuali fakta bahwa mereka mengabaikan variabel psikografis pasar sasaran hanya demi mengeruk keuntungan lebih banyak. Sekedar tambahan sinopsis, seorang tetangga mereka yang kompulsif pada akhirnya memilih bunuh diri karena terlalu banyak menanggung hutang akibat pengaruh gaya hidup mereka. Hal ini yang kemudian menyadarkan Steve untuk mengakhiri permainan dengan mengumumkan bahwa mereka bukanlah keluarga yang sempurna, tapi hanya tim marketing yang bergerak karena sebuah kontrak.
Ambil yang positif dari film ini, sekedar memperkaya wawasan kita tentang strategi pemasaran yang mumpuni tanpa mengabaikan unsur kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sinopsis Film Belahan Jiwa, Sukses Bikin Kita Bingung

Kalau ada film yang sukses bikin kepalaku pening, ya film Belahan Jiwa. Apalagi film Belahan Jiwa hadir di masa mudaku yang belum...